Assalamualaikum ..............

Assalamualaikum ....

Selamat datang semua di blog saya ...
semoga bisa bermanfaat .

Selasa, 09 November 2010

Prioritas Ilmu atas Amal

DI ANTARA pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama ialah
prioritas ilmu atas amal. Ilmu itu harus didahulukan atas
amal, karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal
yang akan dilakukan. Dalam hadits Mu'adz disebutkan, "ilmu,
itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."
Oleh sebab itu, Imam Bukhari meletakkan satu bab tentang ilmu
dalam Jami' Shahih-nya, dengan judul "Ilmu itu Mendahului
Perkataan dan Perbuatan." Para pemberi syarah atas buku ini
menjelaskan bahwa ilmu yang dimaksudkan dalam judul itu harus
menjadi syarat bagi ke-shahih-an perkataan dan perbuatan
seseorang. Kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan
ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanya. Ilmulah
yang membenarkan niat dan membetulkan perbuatan yang akan
dilakukan. Mereka mengatakan: "Bukhari ingin mengingatkan
orang kepada persoalan ini, sehingga mereka tidak salah
mengerti dengan pernyataan 'ilmu itu tidak bermanfaat kecuali
disertai dengan amal yang pada gilirannya mereka meremehkan
ilmu pengetahuan dan enggan mencarinya."
Bukhari mengemukakan alasan bagi pernyataannya itu dengan
mengemukakan sebagian ayat al-Qur'an dan hadits Nabi saw:
"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas
dosa orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan..."
(Muhammad: 19)
Oleh karena itu, Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Prioritas/Ilmu.html (1 of 13)20/10/2004 6:45:30
Fiqh Prioritas
umatnya untuk menguasai ilmu tauhid, baru kemudian memohonkan
ampunan yang berupa amal perbuatan. Walaupun perintah di dalam
ayat itu ditujukan kepada Nabi saw, tetapi ayat ini juga
mencakup umatnya.
Dalil yang lainnya ialah ayat berikut ini:
"... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..." (Fathir: 28)
Ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah,
dan mendorong manusia kepada amal perbuatan.
Sementara dalil yang berasal dari hadits ialah sabda
Rasulullah saw:
"Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka dia
akan diberi-Nya pemahaman tentang agamanya."2
Karena bila dia memahami ajaran agamanya, dia akan beramal,
dan melakukan amalan itu dengan baik.
Dalil lain yang menunjukkan kebenaran tindakan kita
mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang pertama kali
diturunkan ialah "Bacalah." Dan membaca ialah kunci ilmu
pengetahuan; dan setelah itu baru diturunkan ayat yang
berkaitan dengan kerja; sebagai berikut:
"Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah
peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu
bersihkanlah." (al-Muddatstsir: 1-4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal
perbuatan, karena ilmu pengetahuanlah yang mampu membedakan
antara yang haq dan yang bathil dalam keyakinan umat manusia;
antara yang benar dan yang salah di dalam perkataan mereka;
antara perbuatan-perbuatan yang disunatkan dan yang bid'ah
dalam ibadah; antara yang benar dan yang tidak benar di dalam
melakukan muamalah; antara tindakan yang halal dan tindakan
yang haram; antara yang terpuji dan yang hina di dalam akhlak
manusia; antara ukuran yang diterima dan ukuran yang ditolak;
antara perbuatan dan perkataan yang bisa diterima dan yang
tidak dapat diterima.
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Prioritas/Ilmu.html (2 of 13)20/10/2004 6:45:30
Fiqh Prioritas
Oleh sebab itu, kita seringkali menemukan ulama pendahulu kita
yang memulai karangan mereka dengan bab tentang ilmu
pengetahuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali
ketika menulis buku Ihya' 'Ulum al-Din; dan Minhaj al-'Abidin.
Begitu pula yang dilakukan oleh al-Hafizh al-Mundziri dengan
bukunya at-Targhib wat-Tarhib. Setelah dia menyebutkan
hadits-hadits tentang niat, keikhlasan, mengikuti petunjuk
al-Qur'an dan sunnah Nabi saw; baru dia menulis bab tentang
ilmu pengetahuan.
Fiqh prioritas yang sedang kita perbincangkan ini dasar dan
porosnya ialah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan kita
dapat mengetahui apa yang mesti didahulukan dan apa yang harus
diakhirkan. Tanpa ilmu pengetahuan kita akan kehilangan arah,
dan melakukan tindakan yang tidak karuan.
Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh khalifah Umar bin Abd
al-Aziz, "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu
pengetahuan tentang itu maka apa yang dia rusak lebih banyak
daripada apa yang dia perbaiki."3
Keadaan seperti ini tampak dengan jelas pada sebagian kelompok
kaum Muslimin, yang tidak kurang kadar ketaqwaan, keikhlasan,
dan semangatnya; tetapi mereka tidak mempunyai ilmu
pengetahuan, pemahaman terhadap tujuan ajaran agama, dan
hakikat agama itu sendiri.
Seperti itulah sifat kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu
Thalib r.a. yang banyak memiliki keutamaan dan sumbangan
kepada Islam, serta memiliki kedudukan yang sangat dekat
dengan Rasulullah saw dari segi nasab, sekaligus menantu
beliau yang sangat dicintai oleh beliau. Kaum Khawarij
menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan
diri mereka kepada Allah SWT.
Mereka, kaum Khawarij ini, merupakan kelanjutan dari
orang-orang yang pernah menentang pembagian harta yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw, yang berkata kepada beliau
dengan kasar dan penuh kebodohan: "Berbuat adillah engkau
ini!" Maka beliau bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang
adil, apabila aku tidak bertindak adil. Kalau aku tidak adil,
maka engkau akan sia-sia dan merugi. "
Dalam sebuah riwayat disebutkan, "Sesungguhnya perkataan kasar
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Prioritas/Ilmu.html (3 of 13)20/10/2004 6:45:30
Fiqh Prioritas
yang disampaikan kepada Rasulullah saw ialah 'Wahai
Rasulullah, bertaqwalah engkau kepada Allah." Maka Rasulullah
saw menyergah ucapan itu sambil berkat, "Bukankah aku penghuni
bumi yang paling bertaqwa kepada Allah?"
Orang yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak
memahami siasat Rasulullah saw untuk menundukkan hati
orang-orang yang baru masuk Islam, dan pengambilan berbagai
kemaslahatan besar bagi umatnya, sebagaimana yang telah
disyari'ahkan oleh Allah SWT dalam kitab suci-Nya. Rasulullah
saw diberi hak untuk melakukan tindakan terhadap shadaqah yang
diberikan oleh kaum Muslimin. Lalu bagaimana halnya dengan
harta pampasan perang?
Ketika sebagian sahabat memohon izin kepada Rasulullah saw
untuk membunuh para pembangkang itu, beliau yang mulia
melarangnya; kemudian memperingatkan mereka tentang munculnya
kelompok orang seperti itu dengan bersabda:
"Kalian akan meremehkan (kuantitas) shalat kalian
dibandinglan dengan shalat yang mereka lakukan,
meremehkan (kuantitas ) puasa kalian dibandingkan
dengan puasa yang mereka lakukan; dan kalian akan
meremehkan (kuantitas) amal kalian dibandingkan dengan
amal mereka. Mereka membaca al-Qur'an tetapi tidak
lebih dari kerongkongan mereka. Mereka menyimpang dari
agama (ad-Din) bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya."
Makna ungkapan "fidak lebih dari kerongkongan mereka" ialah
bahwa hati mereka tidak memahami apa yang mereka baca, dan
akal mereka tidak diterangi dengan bacaan ayat-ayat itu.
Mereka sama sekali tidak memanfaatkan apa yang mereka baca
itu, walaupun mereka banyak mendirikan shalat dan melakukan
puasa.
Di antara sifat yang ditunjukkan oleh Nabi tentang kelompok
itu ialah bahwa,
"Mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah
berhala."4
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak
pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Prioritas/Ilmu.html (4 of 13)20/10/2004 6:45:30
Fiqh Prioritas
pikiran dan pemahaman mereka. Oleh karena itu, mereka
dikatakan dalam hadits yang lain sebagai:
"Orang-orang muda yang memilih impian yang bodoh." 5
Mereka baru diberi sedikit ilmu pengetahuan, dengan pemahaman
yang tidak sempurna, tetapi mereka tidak mau memanfaatkan
kitab Allah padahal mereka membacanya dengan sangat baik,
tetapi bacaan yang tidak disertai dengan pemahaman. Mungkin
mereka memahaminya dengan cara yang tidak benar, sehingga
bertentangan dengan maksud ayat yang diturunkan oleh Allah
SWT.
Oleh karena itu, Imam Hasan al-Bashri memperingatkan orang
yang tekun beribadah dan beramal, tetapi tidak membentenginya
dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman. Dia mengucapkan
perkataan yang sangat dalam artinya,
"Orang yang beramal tetapi tidak disertai dengan ilmu
pengetahuan tentang itu, bagaikan orang yang
melangkahkan kaki tetapi tidak meniti jalan yang
benar. Orang yang melakukan sesuatu tetapi tidak
memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu, maka dia
akan membuat kerusakan yang lebih banyak daripada
perbaikan yang dilakukan. Carilah ilmu selama ia tidak
mengganggu ibadah yang engkau lakukan. Dan
beribadahlah selama ibadah itu tidak mengganggu
pencarian ilmu pengetahuan. Karena ada sebagian kaum
Muslimin yang melakukan ibadah, tetapi mereka
meninggalkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka keluar
dengan pedang mereka untuk membunuh umat Muhammad saw.
Kalau mereka mau mencari ilmu pengetahuan, niscaya
mereka tidak akan melakukan seperti apa yang mereka
lakukan itu."6
ILMU MERUPAKAN SYARAT BAGI PROFESI KEPEMIMPINAN
(POLITIK, MILITER, DAN KEHAKIMAN)
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan syarat bagi semua profesi kepemimpinan, baik dalam
bidang politik maupun administrasi. Sebagaimana yang dilakukan
oleh Yusuf as ketika berkata kepada Raja Mesir:
" ... sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Prioritas/Ilmu.html (5 of 13)20/10/2004 6:45:30
Fiqh Prioritas
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada
sisi kami." Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."
(Yusuf: 54-55)
Yusuf as menunjukkan keahliannya dalam pekerjaan besar yang
ditawarkan kepadanya, yang mencakup pengurusan keuangan,
ekonomi, perancangan, pertanian, dan logistik pada waktu itu.
Yang terkandung di dalam keahlian itu ada dua hal; yakni
penjagaan (yang lebih tepat dikatakan "kejujuran") dan ilmu
pengetahuan (yang dimaksudkan di sini ialah pengalaman dan
kemampuan). Kenyataan itu sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh salah seorang anak perempuan Nabi besar dalam surah
al-Qashash:
"... karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya." (al-Qashash: 26)
Ia juga dapat dijadikan sebagai pedoman dalam dunia militer;
sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT ketika memberikan
alasan bagi pemilihan Thalut sebagai raja atas bani Israil:
"... Nabi (mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah
memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu
pengetahuan yang luas dan tubuh yang perkasa..."
(al-Baqarah, 247)
Pedoman itu juga sepatutnya diberlakukan dalam dunia
kehakiman, sehingga orang-orang yang hendak diangkat menjadi
hakim diharuskan memenuhi syarat seperti syarat yang
diberlakukan bagi orang yang hendak menjadi khalifah. Untuk
menjadi hakim itu tidak cukup hanya dengan menyandang sebagai
ulama yang bertaqlid kepada ulama lainnya. Karena pada
dasarnya, ilmu pengetahuan merupakan kebenaran itu sendiri
dengan berbagai dalilnya, dan bukan ilmu pengetahuan yang
diberitahukan oleh Zaid atau Amr. Orang-orang yang bertaqlid
kepada manusia yang lainnya tanpa ada alasan yang membenarkan
tindakannya, atau ada alasannya tetapi sangat lemah, maka
orang itu dianggap tidak mempunyai ilmu pengetahuan.
Keputusan hukum yang diterima dari orang yang melakukan
taqlid, adalah sama dengan kekuasaan yang dilakukan oleh orang
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Prioritas/Ilmu.html (6 of 13)20/10/2004 6:45:30
Fiqh Prioritas
yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan, yang sangat penting.
Akan tetapi ada batasan-batasan tertentu dan minimal bagi ilmu
pengetahuan yang mesti dikuasai oleh hakim itu. Jika tidak,
maka dia akan membuat keputusan hukum berdasarkan kebodohan
dan akan menjadikannya sebagai penghuni neraka.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah dari
Rasulullah saw bersabda,
"Ada tiga golongan hakim. Dua golongan berada di
neraka, dan satu golongan lagi berada di surga. Yaitu
seorang yang mengetahui kebenaran kemudian dia membuat
keputusan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada
di surga. Seorang yang memberikan keputusan hukum yang
didasarkan atas kebodohannya, maka dia berada di
neraka. Kemudian seorang yang mengetahui kebenaran
tetapi dia melakukan kezaliman dalam membuat keputusan
hukum, maka dia berada di neraka."7
 Download Here http://www.haluantarbawi.com/download/albums/defaultalbum/Fiqh_Keutamaan.pdf